Hakikat Silaturahmi

Silaturahmi sebenarnya dapat dilakukan di setiap tempat dan waktu. Oleh para pendahulu kita, silaturahmi ditradisikan pada waktu hari raya Idul Fitri. Ketika Allah telah memenuhi janji-Nya menghapus dosa-dosa kita—yang sanggup berpuasa dengan penuh iman dan ihtisâb—tetapi kita masih memiliki dosa pada lingkungan atau kepada sesama. Tentu saja Allah tidak akan menghapus dosa-dosa itu sebelum kita sendiri saling memaafkan. Itulah sebabnya mengapa silaturahmi pada hari raya Idul Fitri kemudian menjadi sebuah tradisi; mulai dari kunjungan dari pintu ke pintu sampai silaturahmi melalui forum halalbihalal di lembaga-lembaga pemerintahan, sekolah, dan komunitas-komunitas sosial, seperti RT/RW. Mereka menyampaikan halâlun bi halâlin (halalkan dosa-dosaku yang telah lalu, niscaya kuhalalkan pula dosa-dosamu). Ini adalah sebuah budaya Islam yang hanya dimiliki oleh umat Islam di Indonesia.

Meskipun silaturahmi telah menjadi sebuah budaya yang bernilai ibadah, sejauh ini silaturahmi hanya dilakukan dalam konteks meminta maaf atau menyambung tali persaudaraan dalam satu rumpun keluarga (satu rahim). Sesungguhnya, al-rahîm adalah sifat Tuhan Yang Maha Penyayang, maka barang siapa mendapatkan sifat rahîmiyyah-Nya, berarti dia telah disayang, diridhai, atau diterima hidupnya. Penerima pancaran sifat rahîmiyyah berujung pada sebuah kemerdekaan yang abadi dan keabadian yang merdeka (surga).

Bagaimana cara kita memperoleh kemerdekaan yang abadi dan keabadian yang merdeka dalam rahîmiyyah Tuhan? Semula, yang kita terima berasal dari limpahan sifat rahmâniyyah Allah; mulai dari ketiadaan menjadi ada, ada dalam keadaan sehat, berkecukupan, berilmu, penuh dengan nilai-nilai yang dibutuhkan dalam pengembangan makna hidup—semua itu adalah rahmat Allah yang dipancarkan melalui sifat rahmâniyyah-Nya. Rahmat Allah ditunggu-tunggu dan diperjuangkan oleh setiap makhluk-Nya, sebab rahmat Allah membawa kenikmatan bagi penerimanya.

Di samping rahmat Allah membawa kenikmatan, ia membawa pula pertanggungjawaban. Karena rahmat yang diterima tersebut semata titipan, maka rahmat Allah boleh dinikmati, tetapi ada suatu kewajiban, yaitu menjaga kelestariannya dan mengembangkannya untuk ditebarkan kepada seluruh makhluk yang ada di sekelilingnya. Penerima rahmat Allah memiliki tanggung jawab terhadap kesejahteraan orang-orang di sekitarnya, sebab sesungguhnya rahmat Allah diperuntukkan bagi seluruh makhluk-Nya. Inilah kewajiban kita di dalam menjalankan misi Rasulullah Saw. yang menyatakan bahwa beliau diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam. (QS Al-Anbiyâ’ [21]:107)

Demikianlah maka setiap tindakan hendaknya dibuka dengan bacaan basmallah; Al-Rahmân (yang memberikan rahmat, fasilitas) dan Al-Rahîm (yang memberikan teknik atau cara mendayagunakan rahmat atau fasilitas itu); apakah rahmat atau fasilitas itu dipergunakan untuk kepentingan pribadi atau untuk melakukan ibadah. Ibadah kepada Allah adalah “tujuan”, sedangkan “arahnya” adalah kepada umat manusia. Bagi orang yang kaya finansial, arah ibadahnya adalah pada orang-orang miskin. Orang pintar tempat ibadahnya pada orang-orang bodoh. Orang yang berkuasa “sajadahnya” adalah rakyatnya.

Sebuah hukum kehidupan yang bersifat paradoks; siapa mau naik ke atas (mendapatkan kemuliaan atau ketinggian di depan Tuhannya), maka dia harus turun ke bawah. Hendaklah dia turun menghidupi orang-orang yang berada di bawah kondisinya (kekayaannya, kepandaiannya, kekuasaannya) agar memperoleh martabat tinggi di hadapan Allah. Sifat air yang senantiasa turun ke bawah menghidupi tumbuh-tumbuhan, menjadi lambang bagi orang-orang beriman. Seperti itulah orang yang menerima rahmat dari Allah supaya dia mendapatkan rahîmiyyah-Nya. Fasilitas yang diterima dari sifat Al-Rahmân (Yang Maha Pengasih), ditujukan untuk mendapatkan keabadian dari sifat Al-Rahîm (Yang Maha Penyayang). Oleh karena itu, rasa kasih sayang yang dimiliki orang-orang beriman diwujudkan dalam rangka menggapai respons dari sifat rahîmiyyah Allah, yaitu surga.

Rasulullah Saw. bersabda:  “Tidak akan masuk surga kecuali orang-orang yang memiliki kasih sayang.”

“Dan kami adalah orang-orang yang memiliki kasih sayang, ya Rasulullah,” jawab seorang sahabat.

Rasulullah melanjutkan sabdanya:

 “Bukan dalam makna seorang dari kamu menyayangi seorang sahabatnya yang lain. Sesungguhnya rahmat Allah itu diperuntukkan bagi orang yang mengasihi seluruh manusia.”

Tentu saja kasih sayang itu untuk seluruh manusia yang sempat ditemui, yang layak mendapatkan kasih sayang. Mereka adalah orang-orang yang kekurangan sarana, orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan, orang-orang bodoh, orang-orang tersesat, dan orang-orang yang tidak memiliki pelindung (yatim piatu dan orang-orang tertindas).

Orang-orang beriman yang penuh kedermawanan akan memetik sesuatu yang didengung-dengungkan oleh seluruh agama, yaitu surga. Oleh karena itu, silaturahmi tidak sekadar datang ke rumah tetangga untuk mengucapkan “maafkan aku”. Silaturahmi adalah sebuah komunikasi tinggi yang dilandasi iman, tidak bermotif bisnis (yang hanya akan mengambil keuntungan dari pihak yang dikunjungi). Silaturahmi adalah sebuah komunikasi yang bertujuan ingin mengetahui kesehatan kawannya, bagaimana keadaan ekonominya, bagaimana keamanannya, sehingga apabila mereka dalam keadaan yang perlu dibantu, pelaku silaturahmi ikhlas mengulurkan hasil prestasi hidupnya. Inilah yang disebut komunikasi tinggi dalam bersilaturahmi: tidak hanya berjumpanya dua orang atau tiga orang dalam konteks minta maaf, tetapi juga saling menjenguk keberadaan, kesehatan, prestasi hidup mereka—boleh jadi sedang dalam keadaan stagnan—maka mereka yang kuat dengan senang hati menolong yang lemah.

Dengan demikian, silaturahmi merupakan intisari dari budaya Islam; buah dari semua ibadah yang ada di dalam Islam. Shalat, puasa, dan haji akan membuahkan silaturahmi. Tentu saja apabila shalatnya telah menyadarkan dirinya sebagai hamba Allah, puasa yang dilakukan hanya untuk mendapatkan ridha Allah, dan haji yang ditunaikan berorientasi pada amrullâh.

Namun kita melihat kenyataan. Bertemunya dua individu Muslim di sebuah rumah, di jalan, atau di kedai kopi, bukan dalam rangka mengamalkan hasil ibadahnya itu. Ada orang kaya, tetapi kehadirannya tidak membuat kiri kanannya yang lapar menjadi kenyang. Ada orang pintar, tetapi keberadaannya tidak membuat orang-orang di sekitarnya bertambah ilmunya. Ada penguasa, tetapi kehadirannya tidak membuat orang yang sedang teraniaya menjadi terlindungi. Yang demikian “adanya sama dengan tidak adanya”. Kehadirannya (keberadaannya) tidak bermakna.

Makna kehadiran atau makna keberadaan seseorang lebih tinggi nilainya daripada semua yang dia miliki; baik itu kekayaan finansial, ilmu, ibadah, bahkan kesucian sekalipun. Maka di dalam mencari makna keberadaannya, orang kaya dengan rela berderma kepada yang miskin, orang pandai dengan tulus mengajar yang bodoh, orang yang berkuasa dengan senang hati melindungi yang lemah. Seberapa besar makna kehadiran seseorang harus dibuktikan dengan perbuatan baik terhadap mitra dialognya pada momen-momen silaturahmi; menyambung rahîmiyyah Allah, menyambung belas kasih Allah.
Setelah perbuatan baik kita bermakna bagi orang lain, apakah bermakna pula bagi Allah Swt.? Syarat untuk itu adalah: perbuatan baik tersebut harus dilakukan dengan ikhlas. Sebagaimana dikisahkan bahwa pada Hari Akhir kelak ada catatan amal yang sangat kecil dibawa oleh malaikat dengan hati yang gundah. Allah pun tersenyum, “Meskipun kecil, yang kecil itu untuk-Ku.” Sebaliknya, ada malaikat yang membawa catatan amal yang sangat besar, tetapi ketika sampai di hadapan Tuhan, amal itu ditolak. “Meskipun sebesar gunung, amal itu bukan untuk-Ku. Jangan minta pahala kepada-Ku.”

Kecil catatan amalnya, sebab memang sedikit yang dimilikinya, tetapi besar keikhlasannya, penerima amal akan mengembangkannya hingga menjadi rahmat yang besar. Ikhlas dalam memberikan nilai-nilai hidup pada pihak lain, ikhlas dalam menerima pemberian Allah, ikhlas menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, ikhlas terhadap perilaku dan vonis-vonis Tuhan terhadapnya—menandakan seseorang telah ikhlas sebagai hamba Allah. Inilah martabat kita. Hamba Allah adalah martabat kita yang selalu kita ikrarkan di hadapan-Nya setiap hari minimal tujuh belas kali dengan ucapan iyyâka na‘budu (kepada-Mu kami mengabdi). Martabat sebagai hamba Allah harus senantiasa kita jaga. Jangan sampai baru diberi ujian sedikit saja sudah banyak mengeluh. Sebagai hamba Allah, jika diuji dengan kesakitan hendaklah dirahasiakan. Sebaliknya, jika diberi rahmat, beritakan dan tebarkan kepada orang lain. Inilah cara kita menjaga martabat sebagai hamba Allah.

Suatu hari, Nabi Zakaria diburu oleh orang-orang kafir yang hendak membunuhnya. Beliau masuk untuk bersembunyi di sebuah pohon, tetapi orang-orang kafir itu mengetahuinya. Pohon itu pun digergaji sehingga Nabi Zakaria mengaduh kesakitan. Tuhan membentak: “Sekali lagi engkau mengaduh, akan Ku-cabut kenabianmu.”

Bermartabat sebagai nabi tidak boleh mengaduh. Begitu pula bermartabat sebagai hamba, tidak boleh mengeluh. Allah lebih banyak menurunkan rahmat-Nya daripada mengirimkan bencana untuk diujikan kepada hamba-hamba-Nya. Rasulullah Saw. setiap pagi dan senja berdoa:

 “Ya Allah, ampunan-Mu lebih luas daripada seluruh dosa-dosaku. Dan rahmat-Mu sungguh lebih besar daripada semua amalku. Maka ampunilah dosa-dosaku.”
Doa Rasulullah Saw. tidak hanya sekadar permintaan, tetapi juga memberikan pengetahuan kepada kita tentang sifat-sifat Tuhan. Sifat-sifat Tuhan adalah sesuatu yang dilakukan Tuhan terhadap ciptaan-Nya. Apa yang dilakukan-Nya merupakan suatu kenyataan yang melatarbelakangi makhluk-Nya, berwujud hukum-hukum semesta. Orang yang paham hukum-hukum semesta (sifat-sifat Tuhan), tidak mudah putus asa dan tidak mudah pula mengutarakan dukanya.

Penguapan dalam Ibadah

Amal yang dilakukan dengan ikhlas akan memiliki ruh (kekuatan) untuk terbang ke langit menghadap ke hadirat Allah untuk Dia nilai. Sebaliknya, jika tidak dilandasi dengan keikhlasan, amal tersebut akan tetap tinggal di bumi (hanya dinilai atau dihargai manusia). Amal yang dilakukan dengan ikhlas untuk menggapai ridha Allah dan berorientasi pada Amrullah, akan menurunkan jazâ’ (balasan Tuhan).
Silaturahmi yang dilakukan oleh orang-orang beriman setelah mereka sukses berpuasa, kepadanya diberikan jazâ’, yaitu diampuni dosa-dosanya, bertambah sehat, bertambah sahabat, dan hal-hal lain yang bisa menjadikan bertambahnya rezeki. Di samping itu, silaturahmi di hari raya Idul Fitri berdampak positif di bidang bisnis transportasi, industri pakaian, industri makanan, dan lain sebagainya. Mereka yang bergerak di bidang tersebut tidak semuanya Muslim. Inilah jazâ’ yang diturunkan Allah terhadap ibadah yang dilakukan oleh umat Islam; tidak hanya diturunkan untuk umat Islam, tetapi juga membias kepada seluruh makhluk-Nya.

Orang-orang beriman tidak hanya bagaikan air yang mengalir ke bawah menghidupi tanaman, tetapi sifat air juga mengalami proses penguapan: membubung tinggi membentuk awan yang kemudian turun menjadi hujan. Yang tersirami air hujan tidak hanya tanaman milik orang-orang beriman, tetapi juga seluruh tumbuh-tumbuhan.

Di dalam Islam, ibadah menciptakan sebuah kehidupan, tata cara hidup (metodologi kehidupan) yang integralistik lewat ritual. Itulah agama yang datang dari Sang Pengatur alam ini; agama yang diturunkan atas dasar kasih sayang Tuhan kepada seluruh umat manusia yang mau pulang ke rumah-Nya. Allah adalah “rumah” kita, sebab sebelum segala sesuatu ada, yang ada hanya Allah. Adapun orang-orang yang tidak bisa pulang ke hadirat Allah, mereka hanya bisa sampai pada bintang-bintang atau galaksi-galaksi sebagai bahan bakarnya.

Sudah menjadi sunatulah bahwa di dalam proses penciptaan, tidak semua bahan baku menjadi barang jadi. Misalnya, dalam proses pembuatan tepung, tidak semua materi dari ketela bisa menjadi tepung. Ada yang hanya bisa menjadi limbah. Juga manusia, dalam proses mencari jalan kembali ke hadirat-Nya, tidak semuanya sampai di sana.

Silaturahmi adalah intisari ibadah ritual yang dibutuhkan tatkala kita hendak menjamah kenyataan sosial. Sentuhlah mereka dengan niat yang ikhlas, dengan tujuan menggapai ridha Allah dan dengan cara yang ada perintahnya (bi amrillâh).
Rasulullah Saw. bersabda:

“Agama adalah komunikasi murni.”

Sedangkan dalam Al-Quran, Allah berfirman:

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. (QS Al-Hujurât [49]:13)

Saling mengenal berarti saling terlibat antara satu dan yang lainnya. Keterlibatan menyebabkan seseorang memiliki kepedulian untuk berintegrasi dan berinteraksi dengan orang lain. Interaksi adalah budaya relegi. Oleh karena itu, silaturahmi adalah sebuah budaya dari orang-orang beriman yang telah melakukan ritual keagamaan. Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa melakukan silaturahmi, maka dia akan bertambah umur dan bertambah rezekinya. Memutuskan silaturahmi, haram masuk surga.” []

0 komentar:

Posting Komentar